Jun 13, 2016

Kebiasaan yang (Mulai) Hilang

Marhaban ya Ramadan,
Alhamdulillah gue masih dipertemukan di bulan Ramadan tahun ini. Dan secara tidak langsung gue telah menginjak bulan Ramadan yang ke 21 (sebelum masuk 22). Dan secara tidak langsung gue sekarang udah masuk semester tu-a. Dan secara gak langsung juga ini tahun ketiga gue menjalankan ibadah puasa di perantauan. Sahur sendiri, buka puasa juga sendiri; cuma dibangunin sama alarm. huhu (ala anak muda). Alhamdulillah nya, ramadan tahun ini juga hadir Copa America dan Euro 2016 yang siap mengganggu waktu tidur gue yang lutju.

Suatu kebahagiaan bagi gue apabila datang Bulan Ramadan, bulan dimana banyak barokah yang siap menjadi penghapus dosa gue selama gue hidup di dunia ini. Sebenernya, dosa gue bukan cuma satu atau dua tahun-banya. Tapi, tuhan maha pengasih, pemurah, dan penyayang memberikan satu kesempatan untuk kita sebagai umatNya untuk membersihkan dosa-dosanya. Iya, saat ramadan lah kita dapat memperbaiki semuanya. Tunggu dulu, tulisan gue sekarang ini emang berkaitan dengan Ramadan, tapi bukan tentang ceramah agama atau siraman rohani. Bukan kapasitas gue. Karena kapasitas gue sekarang cuma mengerjakan tugas-tugas kuliah yang sudah (akan) menemui deadlinenya.

21 tahun sudah gue hidup di dunia ini. Sudah hampir 2 dasawarsa gue diberi kesempatan untuk belajar di dunia ini. Umur segini, udah engga bisa dibilang umur yang masih kecil. Banyak tanggungan yang harus dan atau akan gue dapatkan di kemudian hari. Dari 2 dasawarsa tersebut gue bersyukur bahwasanya puluhan tahun kebelakang gue sudah menjalani beberapa bagian penting dalam hidup gue, salah satunya adalah bagian dimana gue pernah menjadi kecil dan berevolusi menjadi seorang anak-anak; iya, anak-anak yang bahagia di zamannya. Bahagia dengan segala macam permainan yang bersifat tradisional. Nyesel deh buat adek-adek yang baru dilahirin di era 2000an ini. Kenapa?

Jawabannya sederhana, karena zaman gue kebelakang jadi zaman terakhir atau zaman peralihan dari zaman yang konvensional atau tradisional menjadi zaman modern yang serba teknologi. Dirasakan atau tidak, dunia kita, hidup kita, dan bahkan keseharian kita selalu berkaitan dengan teknologi (yang super canggih). 

Di bulan Ramadan yang baru menginjak waktu kurang lebih satu minggu ini, gue jadi teringat saat gue masih berumur belasan tahun. Dimana gue yang waktu itu merasakan dua kehidupan yang berbeda. Di era 1990-2006-an gue berada di wilayah perumahan atau sering disebut komplek. Dan dari 2006-2013 gue berada di wilayah desa atau perkampungan. Perbedaan dari kedua wilayah inipun sangat terlihat; diantaranya adalah perilhal gaya hidup. Tapi tunggu dulu. Ada banyak kesamaan diantara kedua tempat tinggal gue ini. Terutama saat bulan ramadan tiba. Dibawah ini gue bakal mengajak kembali kalian untuk bernostalgia di masa anak-anak hingga remaja, dan semoga banyak kesamaan diantara kita (Cieee "Kita").

1. Bangunin Sahur Dengan Bedug

Pengalaman di bulan ramadan yang pertama adalah membangunkan sahur dengan berkeliling komplek/ kampung. Dengan dibantu oleh sebuah alat yang lazimnya digunakan saat panggilan shalat tiba. Bedug. Alat ini (dahulu) sering gue beserta teman-teman gue gunakan untuk membangunkan para warga yang sedang terlelap dalam mimpi indahnya. Asik, gue bisa dengan bahagianya menanyikan lagu-lagu apapun dengan diiringi suara merdu bedug yang memang begitu sangat khas.Bahkan demi mengasah kreatifitas, gue menggunakan ember dari bekas cat atau ember lainnya untuk pengganti bedug. Yang penting kita bisa bernyanyi dan gini lagunya:



"Sahur, sahur.... Dug dug dug dug dug."

"Bapak-bapak ibuk-ibuk teteh-teteh Tante-tante, ayo kita sahur dug dug dug dug dug"

Intinya kaya gitu, coba ditambah irama bedug deh. Pasti lebih enak.

Kebiasaan ini dilakukan gue dan teman-teman sepermainan setelah kita santap sahur. Dengan niat yang mulia dan penuh semangat gue keluar melawan hawa dingin yang sebenernya bikin bulu kuduk merinding. Tapi, dengan semangat yang membara semakin membuat gue semangat untuk mendorong bedug dengan gerobag keliling komplek/ kampung sambil diiringi dengan lagu-lagu yang merdu (tapi cenderung fals) demi membangunkan para warga yang masih tertidur. Ah Kangen.

2. Bermain Petasan

Sebenernya, bermain petasan adalah suatu hal yang dilarang. Zaman gue kecil dulu, banyak pedangan petasan yang di razia hanya karena mereka menjajakan petasan yang berjenis petasan korek atau petasan cabe. Alasannya adalah petasan ini mengandung daya ledak yang cukup besar walau bentuknya kecil. Tapi, main petasan itu jadi hiburan tersendiri buat anak-anak seusia gue waktu itu.

"huufftt (sambil niup petasan yang abis dibakar)''
"Duaaaaarrr" Bunyi petasan yang dilempar semau kita

Jadi satu agenda yang tidak boleh dilewatkan kalau buat main petasan. Apalagi main petasannya bareng-bareng. Saling serang satu sama lain. Dan mengganggu tetangga yang sedang tidur. Kalau sudah mau masuk waktu magrib kita akan berhenti dengan sendirinya. Tapi dilanjut lagi sebelum sholat taraweh. Kita hampir sama kaya teroris tapi bedanya kita punya muka yang lebih lucu dan imut dari mereka. Engga peduli dimarahin, duit jajan abis cuma buat ngebakarin petasan. Yang penting seneng.

3. Tanpa Main Gadget


Iphone
Samsung
Xiaomi
adalah merek-merek smartphone yang belum menodai masa kecil gue. Tanpa mereka gue masih bisa hidup dan menikmati masa-masa yang katanya indah saat kita masih kecil. Jangankan buat punya smartphone yang super smart dan canggih, orang kalau punya duit aja bukannya ditabung malah dijajanin di warung buat beli petasan atau buat rental ps 2 main harvestmoon sambil nunggu waktu buka puasa. Zaman gue dulu baru kenal hp nokia yang punya fitur paling canggih waktu itu, kaya radio fm, game snake dan sudoku.

Aseli, zaman kecil gue adalah zaman yang paling membahagiakan. Dimana gue bebas menghabiskan waktu gue diluar rumah dan lebih banyak ber-interaksi dengan teman-teman se usia gue. Bener kata pepatah; "Beda zaman, beda kebiasaan''. Zaman gue kecil, gue belum kenal yang namanya buka bersama, BBM, LINE, sampe game COC yang bikin anak-anak lupa waktu kalau udah main game itu. Gue emang suka main diluar rumah, tapi gue engga sampe lupa makan, lupa mandi, atau bahkan sampe lupa tidur. Buat gue tidur adalah jadi komoditi utama yang harus gue penuhi terlebih dahulu.

Kembali lagi perihal kebiasaan yang gue lakukan selama bulan ramadan diatas rasanya gue sudah sulit untuk menemukannya. Sekarang, orang-orang lebih suka membangunkan sanak family, kerabat, atau tetangga lewat sosial media yang ada. Selama gue tiga tahun merantau jarang gue menemukan di wilayah gue anak-anak atau remada yang rela membuang waktunya demi berbuat gaduh dengan bedugnya lalu berkeliling kampung untuk membangunkan tetangganya untuk santap sahur. Begitupun dengan cara bermain, generasi kekinian lebih suka menunduk dan asyik dengan dunia nya sendiri daripada harus berinteraksi dengan teman-teman yang ada di sekitar rumahnya. Jangankan buat beli jajanan sama beli petasan korek, uangnya udah habis buat beli paket bulanan untuk main social media dan buat beli pack COC. 

Sedih, karena kebiasaan yang gue lakukan saat beberapa tahun lampau sudan mulai menghilang karena tergerus zaman. Karena anak-anak sekarang lebih nyaman melihat layar yang berwarna daripada melihat dunia yang berwarna. Lebih nyaman berada di depan layar kotak daripada menikmati luasnya dunia. Lebih senang berinteraksi dengan batas tapi seperti tak terbatas daripada berinteraksi dengan dunia luar yang memang tanpa pembatas. Lebih senang menggoyangkan jari daripada mengajak mata untuk melihat segalanya. Kalau gue merasa kebiasaan ini mulai hilang dan bahkan tidak ada. Bagaimana dengan kebiasaanmu di komplek atau kampung tempatmu tinggal? Apa sama? Berbahagialah.   


0 comment: