Dec 7, 2015

Wawasan Itu Perlu

Sore sendu, sambil ditemenin rintik hujan yang cukup bisa dibilang kampret. Iya kampret, karena bikin gue stak di kamar mulu kaya upil yang gak mau keluar. Serba mager pokoknya. Mager iya dingin juga. Gitu kalau kata anak muda masa kini.

Mikir mau ngapain, gue cuma berada di ruangan 3x3 khas perantauan menengah kebawah. Layar laptop aja nyala terus. Mungkin dia lelah habis begadang hampir 2x24 jam. Ngapain lagi? liat rak buku isinya sebagian besar buku kuliah (walau gak selalu dibaca).  Ada beberapa buku menarik yang belum sempet gue selesain. Ada buku Yerussalem dan bukunya Pandji yang Nasional.Is.Me. Mending baca buku ini daripada sendu-sendu rindu mendengar gemericik hujan. Serius buku ini mulai gue baca dari sebuah tanda dari pembaca yang belum menyelesaikan bacaannya (re: lipetan kertas).

Ada kalimat yang menarik mata gue dari buku Pandji ini. Bab I yang judulnya " Dari Sebuah Permintaan Sampai Sebuah Renungan". Kenapa menarik ?

Pertama, kalimat: Diri kita adalah hasil dari pengambilan keputusan

Kenapa menurut gue kalimat ini menarik ? Karena gue yakin setiap orang belum sadar kalau diri(nya)lah dibalik semua keputusan yang diambil. Entah itu baik atau buruk.

Kalimat kedua yang menurut gue menarik adalah: wawasan akan menentukan keputusan.

Menarik, karena ternyata keputusan yang gue ambil selama ini adalah berdasarkan wawasan gue. Memang engga semua keputusan. Tapi, sedelah difikirkan dan di renungkan memang keputusan itu diambil berdasar wawasan atau pengalaman kita. Sama kaya apa yang Pandji bilang tentang keputusannya mau ambil jalan apa dari Pak Tani menuju Sarinah-Thamrin pukul 08.00 wib. Keputusannya Pandji ini mirip dengan keputusan yang gue ambil saat lulus SMA lalu.

Merantau sebelumnya engga pernah ada di benak gue. Awal masuk SMA pun adalah keinginan dari Bapak yang punya temen deket di salah satu SMA negeri di kota kelahiran. Kalau kata orang dulu, anak harus nurut apa kata orang tua dan itu benar terjadi. Entah karena takut dibilang durhaka atau karena emang gue belum punya keputusan untuk memilih. Hidup nyaman dengan tempat tinggal yang nyaman meski engga besar pun ternyata ikut mempengaruhi pola fikir gue yang ingin selalu nyaman. Makan tinggal ambil, minum tinggak tenggak, bahkan jajan pun tinggal angkat tangan kanan yang terbuka. Simple dan nyaman.

Kelas 1 - 2 SMA gue merasa hidup gue sangat nyaman. Meski gak terlalu bergelimang harta. Apa yang kedua orang tua gue kasih ternyata sukses menghipnotis gue. Meski cuma tinggal di rumah sederhana di salah satu pelosok desa di Kota Serang. Tapi itu menurut gue (cukup) nyaman. Awal masuk ke kelas 3 SMA semua berubah. Bak petir menyambar di siang bolong. Sama persis kaya kisahnya Pandji di buku itu, orang tua gue bercerai dan membuat gue beserta mamah dan adik gue harus pergi dan berpindah ke sebuah kontrakan yang tidak lebih kecil dari kamar gue dirumah. 

Anak mana yang engga kaget ngalamin kejadian kaya gini.Tapi hal itu gak bikin gue langsung down. Sebentar lagi UN. Kalau gue down mau jadi apa sekolah gue? berantakan? gak mungkin. Bisa hancur orang tua yang udah susah payah nyekolahin anak-anaknya. Dapet kabar orang tua bercerai sehari sebelum UN adalah pukulan telak buat gue. Tapi, gue tetep semangat meraih semuanya. Sebelum menuju UN, gue sempet punya angan untuk pergi merantau.

"Ngapain sih kamu jauh-jauh merantau? Kan di Serang juga ada kampus. Negeri lagi." Kata-kata pertama yang terucap dari mulut bapak waktu itu.

Sedangkan, kontradiksi gue dapetin dari mamah. Beliau mengijinkan anak pertamanya ini pergi ke luar daerah bukan ke luar negeri.

Sebenernya, awal mula gue pengen merantau adalah pas study tour zaman SMA. Waktu itu gue dan rombongan bertolak ke Jogja sebagai kota pelajar. Pertama gue biasa aja. Tapi, setelah jalan hari kedua gue mulai tertarik dengan kota ini. Dengan segala keramahan kotanya yang ditunjukkan dari slogan-slogan kota bahkan nama jalan yang masih ada aksara jawa kuno. Gue bahkan gak peduli waktu itu dikasih jatah tengah malem buat belanja ke Malioboro. Yang gue tau ternyata pedagang di Malioboro itu tutup jam 10 malem. lah, terus gue mau beli apa? masa bodo.

Dari situ keingin tauan gue tentang Jogja mulai tinggi. Browsing sama sini (dulu masih pake hp samsung android versi gingerbeard). Tanya guru sama sini. Sampe rela bolak-balik kantor BP buat minta brosul lama atau baru tentang kampus-kampus di Jogja. Dan ternyata keingin tauan gue di pertengahan masa SMA ini membuat gue sudah memiliki sebuah keputusan. Gue harus merantau!.  Asumsi gue saat itu adalah merantau bikin gue kenal banyak orang. Dengan kenal banyak orang ilmu dan pengetahuan gue juga akan banyak. Gak cuma itu-itu aja.

Gue merantau bukan karena banyak duit. Bukan. Semua ini karena niat. Niat pengen belajar dan niat pengen nambah pengetahuan. Biar wawasan gue juga nambah. Siapa tau makin banyak. Positif. Dan benar apa yang dibilang Pandji dalam bukunya, bahwa wawasan akan menentukan keputusan. Gue adalah orang yang pertama merantau jauh beratus-ratus kilometer dari rumah dari temen-temen satu kelas gue. Sekarang, udah hampir 3 tahun gue merantau di Jogja. Udah hampir banyak pengetahuan yang gue dapet selama hidup ini.

Gue jadi teringat, gimana gue (dulu) saat memulai untuk kost. Disaat semua penghuni kost ini adalah para lelaki. Mereka diantar oleh kedua orang tua. Sedangkan gue? mengandalkan sahabat kecil yang sudah merantau duluan. Bukan itu yang gue maksud. Bukan tentang gue di anter orang tua atau engga. Merantau mengajarkan kemandirian. Gimana mau mandiri kalau awal merantau aja udah di anter orang tua beli meja, beli kasur, bahkan sampe beli sarung bantal. Gue engga iri. Gue malah bisa membanggakan diri karena kemandirian gue ini.  Banyak dari anak kost gue yang engga tau apa-apa tentang Jogja. Bahkan dia lebih dulu masuk dunia kuliah daripada gue. Kenapa? Karena hidup dia cuma di kost aja. Bangun pagi-Kuliah-Pulang kuliah- tidur. Pasif. Gak pernah mau keluar kamar buat sekedar jalan atau cari hal yang baru.

"Eh, koe ngerti hatono mall ra? kui mall'e guede banget."
"Eh, koe wes pernah mangan neng pak min rung? Mahal men'e."
"Eh, koe ngerti ra amplaz kui mahal-mahal hargane." Beberapa kutipan tetangga yang hampir dua tahun ini sering gue denger.

Bukan gue sombong atau gue banyak duit. Gue sering ke mall, gak berarti belanja dengan harga yang mahal atau buang-buat duit. Engga. gue cuma butuh refreshing. Gue sering makan di Pak Min, Banyak yang bilang Pak Min Recomended. Gue sering makan di pinggiran kaya Tora-tora. Dan itu hal yang biasa. Kalau dibilang mahal, coba kalian keluar jogja atau keluar kota (misal Jabodetabek). kalian gak mungkin bisa makan enak harga di bawah 20 rebu dengan  porsi yang cukup banyak. Gitu juga dengan ke mall atau tempat-tempat wisata yang dibilang mahal. Bukan gue hedon atau apapun. Coba kalian keluar. Main keluar gak perlu mahal. Gue sering kok main ke suatu tempat dengan modal pas-pasan. Demi cuma refreshing, cari pengalaman, cari wawasan. Siapa tau dari semua itu kamu bisa ngajak mereka yang belum tau.

Bener kata Pandji di bukunya. Wawasan menentukan keputusan. Dari wawasan kita dapat membentuk pengetahuan. Dari wawasan kita juga dapat membentuk cara berbicara. Dan dari wawasan kita dapat berpandangan seluas bumi.  Sayang kalau merantau cuma tidur lucu di balik pintu kamar kos. Apalagi cuma kuliah pulang. Lebih enak kalau kita merasakan langsung setiap hal yang pernah dilakukan oleh orang lain. Atau bisa jadi pembeda, kalau kamu punya wawasan lebih tentang semuanya. Keputusan gue untuk merantau ya untuk nambah wawasan. Biar gak disitu-situ aja. Kalau udah merantau juga jangan gitu-gitu aja.

Percayalah, wawasanmu akan merubah pandanganmu tentang semua ini. Termasuk negeri ini.

0 comment: