Mar 25, 2016

Waktu (di) Lasem


Waahh, ternyata sudah lama tangan ini tidak bergoyang mengolah kata dan menulis. Gatal rasanya dan ada rasa rindu dalam tulisan ini, terutama pada sebuah kecamatan di kota kecil di pesisir utara jawa yaitu wilayah Lasem yang berada di Kabupaten Rembang. Mungkin, hanya sedikit dari berjuta penduduk Indonesia yang mengetahuinya. Mungkin juga mereka yang mengetahui hanya sekedar lewat karena jalur mudik mereka lewat Rembang. Atau mungkin penduduk asli yang memang lama merantau. Buat saya, yang notabene asli pulau Jawa sekalipun baru mengetahui setelah merantau dan mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi kota ini.

Pertama kali mendegar kata Lasem buat saya adalah suatu daerah yang sangat asing di telinga. Bahkan untuk tahu dimana letaknya pun saya tidak mengerti. Entah Lasem berada di Jawa Tengah ataupun di Jawa Timur. Semuanya serba tidak saya ketahui tentang lasem. Semuanya serba abu-abu kalau kata anak alay jaman sekarang. Belum jelas asal usul nya atau bahkan ceritanya, Cuma bersumber dari “katanya.”

Pertama kali mendapat tawaran untuk berkunjung ke Lasem tentu jadi hal yang menarik buat saya. Selain menarik, hal itu akan menciptakan sebuah pengalaman baru di hidup saya. Yang tadinya cuma tau kota-kota di sekitar Jabodetabek saja, sekarang saya bisa mengujungi berbagai macam kota, yang dulu Cuma bisa liat di berita-berita. Semuanya karena merantau. Merantau yang membuat saya tahu kehidupan diluar sana. Membuat saya tahu bagaimana kebudayaan atau tradisi yang ada di suatu daerah yang bahkan begitu asing buat saya. Begitupun tentang Lasem. Seminggu setelah tawaran berangkat ke Lasem, saya cuma membayangkan, bagaimana melihat sebuah wilayah baru yang (mungkin) menurut ekspektasi terbesar saya adalah semacam kabupaten yang sedang berkembang, dengan bangunan nan-super-megahnya. (biasanya), wilayah yang menuju berkembang adalah wilayah yang banyak dengan pusat perbelanjaan, atau apartemen dan hotel bintang lima yang semalam tidurnya bisa sampe setengah juta. Setelah tawaran itu, rasa penasaran saya untuk lebih jauh berkenalan dengan Lasem semakin tinggi. Dari mulut ke mulut saya bertanya tentang daerah ini. Dimana, seperti apa, dan bagaimana Lasem itu. Pertanyaan sejenis yang sering muncul sebelum mimpi indah di malam hari. Bahkan terus menghantui, walau terkesan berlebihan.

Doc Pribadi: Pelabuhan Rembang
Hari keberangkatan yang ditunggu akhirnya datang jua, Lasem sudah didepan mata. Perjalanan dari Kota Jogja menuju Lasem yang (kini) saya tau hanyalah kota kecamatan di Kabupaten Rembang yaitu sekitar 7 jam. Waaw, perjalanan yang akan sangat panjang. Namun, itu semua cukup membuat saya semakin penasaran akan daerah ini. Selalu terbayang bagaimana Lasem dengan historical story di dalamnya. Banyak orang yang bilang, kalau Lasem itu punya cerita sejarah yang sangat kental. Khususnya tentang sejarah toleransi antar umat beragama. Cerita daerah tanpa ada perbedaan dari siapapun yang tinggal disana. Semuanya guyub menjadi satu, warga Lasem khususnya, dan Rembang pada umumnya. Daerah pesisir pantai utara ini semakin membuat saya semakin penasaran.
            Benar kata pepatah:
“Tak akan ada usaha yang sia-sia.”

Semua lelah selama perjalanan-pun terbayar dengan ciri khas memasuki setiap daerah. Saya dan tim disambut hangatnya Kota Rembang yang sangat terik.

“Selamat Datang di Kota Rembang.” 

Dan dibawah tulisan tersebut ada tulisan 

“Rembang Bangkit.”

Bahagia mampu mengalahkan letih selama perjalanan. Nampak kota ini sangat jauh dari ekspektasi saya tentang kota yang tengah bangkit. Di kota ini tanpa bangunan bertingkat yang sampai mampu menggapai langit luas. Bahkan, kota ini hanya menyediakan deburan ombak yang tenang khas lautan di pantai utara. Namun, perjalanan ini belum sampai. Lasem masih berjarak beberapa kilometer lagi. Tidak ada yang lebih bahagia saat saya mulai melihat tanda-tanda telah memasuki daerah Lasem. Ada yang menarik dari daerah ini, yaitu banyaknya gapura yang didominasi warna merah dan aksara khas tionghoa. Ternyata daerah ini adalah daerah yang menjadi domisili warga keturunan Tionghoa. Dari sini muncul pertanyaan baru, apakah ini daerah yang didominasi mereka yang berasal dari Tionghoa? Jawabannya ternyata bukan  seperti itu. Menurut sedikit sejarah yang saya pelajari adalah wilayah ini memang banyak warga tionghoa, namun tidak sedikit juga warga pribumi yang tinggal di wilayah ini. 
 
Berangkat ke Lasem, adalah suatu undangan yang spesial. Ternyata, disini saya mendapat banyak pengalaman yang berharga. Tidak hanya berlibur, disini saya juga sedikit banyak mengerti sejarah akan Lasem. Yang memang ternyata terkenal dengan toleransi antar umat beragama. Terutama antara Islam dengan Tionghoa. Mereka saling menghargai, bahkan mereka saling mengasihi layaknya tuhan yang mengasihi umatnya. Tidak ada pertumpahan darah disini hanya karena gesekan-gesekan pribadi. Semua berbaur dalam satu kekuatan. Inilah yang membuat Lasem menjadi berbeda. Lasem adalah daerah dengan penuh toleransi. 4 hari bukanlah waktu yang lama buat saya untuk mengenal Lasem lebih jauh. Bahkan, adalah hal yang salah bila kita punya tujuan hanya untuk menghabiskan akhir pekan atau libur panjang di Lasem. Perlu waktu yang tidak sebentar untuk belajar mengenali Lasem. Toleransi menjadi hal utama yang menjadi ciri khas wilayah ini. Dari perjalanan saya selama tiga hari, saya yang berkesempatan baik diajak untuk berkunjung ke salah satu pesantren yang berada di wilayah Lasem. Pesantren tersebut berada dikawasan Tionghoa. Pesantren tersebut ternyata menjadi hal yang positif karena tidak ada perbedaan satu sama lain antara santri dengan warga sekitar yang hampir kebanyakan warga Tionghoa. Layaknya Indonesia yang dikenal Bhineka Tunggal Ika, Lasem pun seperti itu. Berbeda-beda namun tetap satu. Berbeda bukan berarti untuk berkonflik. Berbeda bukan berarti harus berperang. Berbeda adalah tentang kerukunan, mencintai perbedaan itu sendiri. Itu yang saya dapatkan selama di Lasem. Bahkan, bukan hanya sekedar isapan jempol belaka Lasem menerapkan tentang Bhineka Tunggal ika. Di pesantren kauman yang berada di wilayah yang didominasi Tionghoa itu ada seorang santri yang beragama Khatolik. Namun sayang, saat itu saya hanya berkesempatan mengunjungi pesantren saja. Tidak bertemu dengan santri tersebut.

Hal ini semakin menunjukkan, bahwa toleransi adalah hal yang penting untuk terus ditegakkan. Bukan melihat siapa kamu dan dari mana asal kamu. Tapi tentang, bagaimana aku menghargai kamu dan kepercayaanmu. Dari toleransi ini muncullah rasa saling menghargai yang sangat tinggi. Karena saling menghargai dan percaya akan toleransi, bangsa ini pasti akan terhindar dari peperangan atau gesekan antar pribadi yang menyangkut SARA. Bukankah lebih baik kita saling menghargai daripada kita saling mencari kekurangan masing-masing?.  Penasaran dan ingin belajar toleransi? Berkunjunglah ke Lasem.

Selain dikenal sebagai wilayah yang sangat menghargai toleransi, Lasem khususnya dan Rembang pada umumnya adalah kota yang penuh akan kebudayaan. Adanya kesadaran dari beberapa tokoh masyarakat yang menyebut diri mereka sebagai fokmas (forum komunikasi masyarakat) menyebutkan bahwa lasem saat ini sedang mencoba membangun kebudayaan lasem yang masih ada. Salah satunya dengan mempertahankan peninggalan-peninggalan yang ada dengan tetap mempertahankan bangunan-bangunan kuno baik khas chinese, kolonial, ataupun bangunan khas jawa. Inilah yang sudah seharusnya dicontoh oleh kota-kota lainnya yang juga terdapat beberapa peninggalan bersejarah yang tentunya akan dirasakan oleh anak  cucu kita nanti sebagai penerus bangsa. Katanya bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya, bukan pemilik modalnya.
 
Doc Pribadi: Pondok Pesantren yang berada di wilayah Pecinan
Kesempatan selama di Lasem ini saya manfaatkan. Banyak peninggalan sejarah yang khas dan bahkan mendukung akan toleransi diatas. . Di Lasem saya menemukan beberapa bangunan khas Chinese yang berpadu dengan  arsitektur khas jawa, belanda, ataupun dengan islam. Bahkan Kalau merasa itu kurang cukup menjadi bukti bahwa lasem adalah sebagai kota yang saling menghargai, berkunjunglah ke Warung Jinghe. Warung tempat berkumpulnya masyarakat lasem ataupun luar lasem. Dimana di warung itu terdapat santri, pegawai, kiayi, ataupun para engkoh engkoh yang sehabis berdagang. Jangan lupa, disetiap kesempatan mengunjungi wilayah baru bahkan seperti Lasem ini yang sayang untuk dilewatkan adalah kuliner khas lasem. Di Lasem, banyak tempat yang mengakomodasi kita para wisawatawan untuk mencicipi panganan khasnya yang berbaur langsung dengan warga masyarakat Lasem. Diatas, warung Jinghe adalah tempat favorit santri dan warga Tionghoa untuk berkumpul. Hal ini akan sangat jarang dilihat dimanapun, bahkan sedikit dapat dilihat di indonesia. Kalau kurang, berkunjunglah ke warung sate kambing di sebrang masjid agung Lasem. Kalau bisa datang ke tempat ini tidak terlalu siang. Kita dapat berkumpul dengan warga asli Lasem dengan berbagai macam profesi.
 
Doc. Pribadi; Peninggalan aksara cina
Pernah coba kopi lelet? Kopi yang ampasnya di oleskan ke rokok yang sedang atau akan digunakan. Atau bisa coba Lontong Tuyuhan. Lontong ini sangat fenomenal di wilayah Lasem dan Kabupate Rembang. Akan sangat menyesal kalau kita lewat atau singgah di kota ini tapi melewatkan citarasa luar biasa nusantara. Karena lontong tuyuhan tidak hanya mengganjal perut, tapi juga cukup buat saya ketagihan untuk terus menambah porsi. Tenang aja, lontong tuyuhan engga bikin kantong kita kering kok. Adalagi makanan khas Lasem yaitu Bestik atau bistik. Irisan daging sapi yang diolah lembut ditambah dengan bumbu yang khas pun bikin saya merasa selalu kelaparan. Selalu ada rasa ingin nambah lagi dan lagi. Kalau merasa kurang di Lasem atau Rembang Cuma belajar sejarah, atau belajar tentang toleransi, atau kuliner di kota ini. Jangan khawatir. Rembang punya banyak pilihan wisata daerah pesisir. Di wilayah Lasem, ada satu pantai yang terkenal. Karakteristik ombak pantai utara yang tenang dan suasana yang relatif masih sepi bisa menjadi referensi bagi kita yang ingin memperoleh ketenangan dari deburan ombak. Wisata bahari disini pun masih relatif bersih. Cenderung terawat karena masih minimnya wisatawan yang berkunjung. Hanya dihari-hari tertentu saja. Memang pantainya tidak sejernih pantai-pantai di Indonesia bagian timur. Tapi, cukup jadi pilihan wisata di akhir pekan atau liburan panjang.

Memang, butuh lebih dari 4 hari untuk mengeksplore keindahan kota Rembang dan Lasem sebagai pelengkap dengan toleransinya. Tak perlu modal besar dan jauh untuk menikmati Indonesia. Karena Indonesia bukan tentang keindahan alamnya saja. Indonesia adalah tentang keberagamannya. Beragam wisata, beragam adat, beragam kebiasaan, hingga beragamnya suku dan agama yang (mungkin) tidak dimiliki oleh negara lainnya.

Toleransi, adalah hal yang penting bagi negara ini. Negara ini hadir karena toleransi antar manusia yang ada didalamnya. Menjaga toleransi sama halnya dengan menjaga bayi yang sedang digendong. Butuh perhatian, bahkan kasih sayang lebih untuk menjaganya agar tidak jatuh. Senantiasa dilindungi agar tetap terjaga. Ilmu tentang toleransi mungkin tidak akan saya dapatkan diberbagai kota. Di Jogja saya belajar menghargai dengan cara yang sangat lembut. Di Lasem (rembang) saya belajar menghargai melalui toileransi antar umat beragama. Toleransi nbukan tentang siapa yang kaya dan siapa yang miskin. Toleransi bukan tentang siapa yang menjadi raja dan siapa yang menjadi pesuruh.  Toleransi tentang perasaan yang saling menghargai. Dari Lasem, saya sedikit banyak belajar tentang toleransi dan menghargai sesama manusia. Tidak peduli dia dari wilayah apa, suku apa, agama apa. Udah bukan waktunya lagi (kita) jadiin toleransi sebagai alasan untuk berbeda. Dan jadiin perbedaan sebagai alat untuk menebar konflik, menebar kebencian. Udah bukan waktunya lagi kita saling berkonflik mengangkat senjata dan parang. Udah bukan waktunya lagi kita saling mencerca dan menghina satu sama lain. Belajarlah keluar, duniamu lebih lebar dari kedua bola matamu. Banyak pelajaran yang bisa didapat di luar sana. Bahkan tidak cukup hanya membuka mata untuk melihat betapa luasnya negara ibu pertiwi ini. Berjalanlah untuk mencari ilmu, bukan  mencari likers  di Instagrammu. Masih banyak hal yang harus saya tahu dari dunia ini.
 
Doc. Pribadi: di salah satu rumah warga pecinan
Dari Lasem, saya diajarkan untuk menghargai antar sesama. Siapapun itu. Tidak peduli darimana, dia siapa, dan darimana dia dilahirkan. Ternyata, Lasem mengajarkan saya bahwa hidup itu tentang bertoleransi, tentang menghargai. Mungkin efeknya tidak akan terasa secepat kilat. Namun, percaya atau tidak, dari rasa toleransi itu akan timbul rasa cinta yang lebih untuk tetap menghargai dan mencintai khususnya kepada negeri ini. Sampai kapanpun, saya ingin tetap keluar. Membuka mata dan melihat dunia. Serta terus berjalan untuk mencari ilmu yang berbeda di setiap langkah kakinya.

0 comment: