Mar 27, 2016

Yang Paling Berharga

Beberapa minggu belakangan ini, gue diberi hadiah oleh tuhan dengan sebuah penyakit yang mungkin terdengar begitu khas bagi sistem penceraan manusia. Usus Buntu sempat menjadi penghalang gue untuk memulai aktivitas di semester baru (lebih tepatnya menuju semester tua). Karena itulah gue memutuskan untuk kembali ke daerah asal gue demi memudahkan proses penyembuhan dan lain sebagainya. Karena kalau disini, kasian orang tua gue yang mesti bolak-balik. Alhasil, pulang lah gue di hari ketiga saat perkuliahan baru memasuki semester baru dan itu artinya diperlukan beberapa hari yang gue juga belum tahu kapan semuanya kembali normal.
Sampai di rumah, gue sedikit melepas lelah. Perjalanan yang ditempuh juga cuma 4 jam kok. Jogja- Serang cuma 4 jam, naik Burok. Kangen dengan isi rumah walau rumah itu juga bukan sepenuhnya rumah gue. Tapi, gue kangen dengan para penghuninya yang diisi dari mamah, ayah, dan satu-satunya adik gue yang sudah beranjak beger. Di depan mereka, gue selalu ingin terlihat sehat dan sehat. Berdasarkan orang-orang pintar, sugesti untuk selalu hidup sehat itu penting daripada kita mengeluh dengan penyakit kita. Dengan gaya khasnya, nyokap gue nyuruh gue untuk segera pergi ke rumah sakit. Karena beliau khawatir dengan kesehatan gue. Tanpa bisa banyak basa basi lagi gue meluncur dengan nyokap gue. Bahkan razia pun tak surut untuk menghentikan kecepatan kendaraan yang gue kemudikan. Kebetulan isi perut gue ini sudah engga bisa ditahan. Rasanya macam-macam. Kadang kaya ditonjok, kadang kaya dicubit, ah pokoknya nano-nano deh. Sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata.

Sampai di UGD yang hampir seluruh pegawainya kenal sama nyokap gue ini pun gue ditempatkan di salah satu ruangan khusus yang (katanya) khusus untuk para pegawai RS. Dan percaya atau engga, ada satu hal yang gue kagumin dari mamah, " mamah orangnya suka senyum. Kalau senyum gak pernah pelit. Semua karyawan yang dikenal atau engga pun dia senyumin." Belakangan gue tau kalau mamah dikenal di rumah sakit sebagai orang baik dan emang orangnya baik (gue denger dari berberapa karyawan yang gue kenal, bahkan dari seorang office boy yang kerja di ruangan tempat gue di infus). Iya, mamah emang gitu orangnya. Kalau kata orang sunda sih namanya someah.

Meskipun gue punya nyokap yang jadi bagian RS, tidak membuat gue langsung ditangani oleh dokter jaga yang ada di UGD. Gue inget, sempat terbengkalai 2 jam sebelum ada seorang dokter muda berjenis kelamin pria datang dengan muka songong dan langsung memeriksa gue. Dia cuma meriksa gue sekitar beberapa menit aja dan yang paling gue inget dia cuma nanya,

"Bagian mana yang sakit? Gejalanya apa?"

What the hell, gue udah hampir di ujung tanduk doi cuma nanya kaya gitu sambil mencet-mencet perut gue yang udah nyiksa gue hampir seminggu di kosan. Untung aja gue masih bisa nahan. Kalau engga gatau deh kedepannya gimana.

Ternyata, penderitaan gue gak cuma sampai disitu. Gue disarankan untuk cek darah dan rontgen untuk memastikan gejala yang gue alami. Gue masih inget, sekitar jam 7 malem gue baru diambil sample darah dengan cara yang cukup unik. Darah gue diambil dari selaput telinga. Keren kan? cuma dengan alat kecil darah gue diambil, dan itu rasanya kaya digigit semut. Whoaaawwwww.

Setelah diambil darah, ternyata gue mulai bosan. Tapi, mamah gak pernah keliatan bosan. Nyokap pergi kesana kesini buat ngurus ini itu. Dari mulai cek hasil lab sampai beliin beberapa camilan buat gue. Dan cerita hal-hal mistis disana!. Iya, mamah bilang dia denger suara orang nangis. Dan itu emang gue juga denger.

"A, ini malam jumat yaa?." Begitulah yang nyokap gue ucapkan setelah tau bahwa ada beberapa pasien di UGD yang telah pergi.

Seerrrrrr bulu kuduk gue merinding. tapi, singkat cerita waktu menunjukkan jam 11 malam, gue mulai bosen karena merasa di PHP oleh pihak UGD.

"Ini, gue bener sakit apa engga sih, kok bertele-tele." Gumam gue dalam hati.

Mungkin, para pegawai UGD itu mendengar gumam-an gue dan mereka pun datang beberapa menit setelahnya dengan membawa seperangkat alat infus (tapi gak dibayar tunai). Dan terpasang-lah kabel infus di tangan kanan gue. Setelah itu, gue mulai dibawa ke ruang rontgen untuk cek hasil nya. Dan positif-lah gue dengan dugaan tersebut. Gue usus buntu!

Tapi, bukan itu yang merasa gue ini berharga. Setelah masuk ruangan sambil menunggu jatah operasi besoknya dan bahkan saat gue berada di ruang operasi hingga gue telah selesai di operasi, mamah tetap berusaha menyisihkan banyak waktu untuk menemani gue. Maklum, waktu itu gue sengaja tidak memberitahu ke bokap kandung gue yang ada di negeri antah berantah. Ditengah kesibukannya di hari kerja, nyokap gue selalu menyisihkan waktunya. Bahkan untuk melayani gue yang banyak permintaan (biasanya soal makanan) dan bahkan beliau memandikan gue yang masih tergolek lemah. Mamah gantian sama adik gue. Kasian kalau beliau mesti 1x24 jam ngurusin gue di rumah sakit. Sedangkan beliau juga punya tanggungan pekerjaan.

Selama kurang lebih dua minggu gue di rumah sakit, banyak hal yang bikin gue terenyuh. Terutama pengorbanan mamah dan adik gue. Mereka adalah tipikal dua orang yang cuek kalau anak pertama dan kakaknya ini pulang dari perantauan. Kalau gue lagi dirumah, gue sering bangun dengan kondisi rumah kosong tanpa orang. Mamah kerja, adik gue sekolah. Dan disaat mereka pulang pun kadang gue jarang ada dirumah. Seringnya gue pulang kerumah dengan keadaan mereka sedang beristirahat. Atau kalaupun ketemu kita cuma sebatas nonton. Adik gue di lantai atas sama gue, sedangkan mamah di kamarnya. Pokoknya serba sibuk sendiri. Kalaupun ada interaksi ya agak minimalis interaksinya.

Sebenernya hal kaya gini udah gue rasain dari kecil. Mungkin, gue adalah salah satu anak yang dengan didikan mandiri. Mamah dulu kerja dari pagi sampai malam. Gue bangun mamah udah berangkat kerja, saat dia pulang mungkin gue udah tidur atau bahkan belum pulang. Hal kaya gitu udah sering terjadi setelah gue masuk SMP dan pindah ke Serang lagi. Karena waktu itu gue belum ngerasain apa arti penting hadirnya banyak waktu dari mereka. Sedangkan kemarin gue merasa banyak hal berharga yang gue dapatkan. Selama 21 tahun ini, gue baru merasakan dirawat di rumah sakit sebanyak 3 kali (sama yang terakhir ini). Sisanya gue pake untuk menikmati hidup dengan fasilitas yang ada meskipun gak mewah.

Semenjak kejadian yang gue alamin kelas 3 sma lalu, gue semakin merasa bahwa mamah adalah sosok terpenting dalam hidup gue. Beliau banting tulang demi membahagiakan anak-anaknya. Mamah adalah orang yang paling gamau liat anak-anaknya tanpa ilmu sedikitpun. Mamah adalah orang yang paling mendukung dua jagoannya buat menuntut ilmu kemanapun. Mamah pernah bilang:

"Kamu sekolah yang bener, kamu sebagai anak harus lebih dari orang tuamu. Harus lebih dari mamah. Biar lebih berhasil dari mamah."

Itu, buat gue adalah sebuah motivas dan pacuan. Kalau gue nakal disini, harusnya gue ingat bahwa ada mamah yang selalu berjuang untuk membuat anaknya satu tingkat lebih tinggi diatasnya. Kalau gue juga nakal, harusnya gue ingat bahwa gue punya adik yang bakal niru kelaukan kakaknya. Sebagai pengingat gue juga selama gue merantau dan menuntut ilmu. Karena gue percaya, tuhan bakal memberikan kebahagiaan buat gue, mamah, dan tio untuk lebih bahagia di kesempatan setelah kita terkena masalah. Karenanya, gue merasa dua minggu selama gue di rumah sakit adalah waktu yang berharga untuk gue. Betapa bahagianya gue merasakan kasih sayang mamah yang sebenarnya. Yang selama ini sulit untuk gue rasakan karena terbatasnya waktu (kecuali hari minggu dan hari libur). Terima kasih tuhan, semoga kami selalu diberikan rasa syukur untuk berbahagia.

0 comment: